16/06/16

Power Point

Suku Tengger


Suku Batak
   
 Suku Sakai

   

 Suku Nias

   
 Suku Samin
   
 Suku Trunyan Bali 

14/06/16

Agama Tradisional Suku Sakai

Suku Sakai

Agama Tradisional Suku Naulu

Suku Naulu

Agama Tradisional Suku Sunda

Suku Sunda

Agama Tradisional Suku Batak Parmalim

Suku Batak Parmalim

Agama Tradisional Suku Jawa

Suku Jawa

Suku Flores

Suku Flores

Islam Wetu Telu di Lombok

Islam Wetu Telu di Lombok

Agama Tradisional Suku Tengger

Suku Tengger

Agama Tradisional Suku Samin

Suku Samin

Agama Tradisional Suku Toraja

Suku Toraja

Agama Tradisional Suku Trunyan di Bali

Suku Trunyan di Bali

10/06/16

Profil Suku Aru

Profil Suku Aru
Suku Aru


1.      Letak Geografis Suku Aru 
Sumber : http://cerita-indonesian.blogspot.co.id/2013/03/suku-aru-maluku.html



Sumber : http://suku-dunia.blogspot.co.id/2016/04/mengenal-suku-aru.html


Suku Aru merupakan Suku bangsa yang mendiami wilayah kepulauan Aru di Maluku Tenggara. Kepulauan yang dikaruniai kekayaan potensi sumber daya alam dan juga budaya ini terletak di Lepengan Sahul berdampingan dengan Papua dan Benua Australia, yang terdiri dari lima pulau besar dikelilingi oleh 182 pulau kecil dengan total luas 8.563 km[1]


Menurut Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus MelalatoaAru adalah kelompok sosial yang berdiam di kepulauan Aru, yang kini merupakan wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Aru. Kepulauan ini terdiri dari 23 buah pulau yang bisa didiami, diantaranya Maikoor, Kobroor, Trangan, Penjuring, Workai, Wokam, Baun, dan pulau-pulau kecil lainnya. Selain itu ada sekitar 164 buah pulau yang tidak dihuni. Suku Aru disebut juga Suku Dunia.
Luas kecamatan ini adalah 6.053 kilometer persegi. Permukaan kepulauan ini tidak bergunung-gunung dan tidak ada pula dataran tinggi. Tanahnya subur dan ditutupi hutan primer. Di bagian selatan terdapat padang alang-alang tempat hidupnya kawasan rusa. Alam kepulauan ini pun menjadi tempat hidupnya burung cenderawasih. Sarana perhubungan di kepulauan ini dan dengan kepulauan lain adalah melalui laut. Orang Aru dengan perahu-perahu kecilnya berani mengarungi laut Banda atau laut Arafuru di sekitarnya. Data sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan jumlah orang Aru sekitar 20.000 jiwa. Data penduduk yang lebih akhir (1986) dari Kecamatan Pulau-Pulau Aru adalah 44.413 jiwa, di mana dalam jumlah tersebut tidak diketahui lagi berapa banyaknya orang Aru. Orang Aru ini mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Aru, yaitu salah satu dari 10 bahasa besar dalam kelompok bahasa Siwalima, yaitu kelompok bahasa di Maluku. Bahasa Aru ini masih mempunyai empat buah dialek.


Sebagian besar anggota masyarakat kepulauan ini hidup sebagai nelayan. Sebagian dari mereka hidup di pantai dengan membudidayakan rumput laut, berternak kerang mutiara, dan hanya sebagian kecil saja yang hidup sebagai petani dan meramu sagu. Makanan khas orang Aru adalah sagu dan umbi-umbian.
Orang Aru ada yang memeluk agama Islam, sebagian lainnya memeluk agama Kristen dan sistem kepercayaan leluhur masih juga terwujud dalam kehidupan mereka.[2]
2.      Sejarah Suku Aru



Sumber : http://www.wacananusantara.org/suku-aru/


Sejarah orang Aru dimulai dari Pulau Eno-Karang, berangkat dari sana orang Aru mulai menyebar ke seluruh kawasan Kepulaun Aru.  Secara sosial dan budaya Suku Aru termasuk rumpun Melanesia Pasifik dan terdiri dari 16 suku asli orang Aru dan berbagai suku lainnya dari Maluku, Jawa, dan Tionghoa. Oleh karena itu, orang Suku Aru tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang mendiami kepulauan seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan dan kepulauan lainya yang juga merupakan rumpun Melanesia Pasifik, Orang Aru  memiliki 14 bahasa lokal sebagai alat komunikasi mereka. Ragam bahasa lokal tersebut diantaranya Barakai, Batuley, Doubel Language, Karey, Koba, Kompane, Lola, Larong, Manombai, Mariri Language, Tarangan Timur, Tarangan Barat, dan Ujir.
Keragamaman suku dan bahasa Aru asli serta kekayaan sumber daya alam telah membuat kepulauan Aru begitu istimewa dibandingkan kepulauan yang lain yang ada di Maluku. Pada tahun 1600-an  bangsa Tionghoa menginjakan kaki di Kepulauan Aru untuk berniaga.  Tionghoa dengan orang Aru asli  membentuk komunitas masyarakat yang dinamakan Aru modern, dengan total populasi mencapai 71.393 jiwa, terjadi perpaduan yang baik dalam tatanan kehidupan sosial budaya, agama, ekonomi, dan pendidikan antara orang Aru asli dengan masyarakat pendatang. Selain itu kekayaan sumber daya alam di kepulauan Aru juga mengundang negara-negara lain untuk menguasainya seperti bangsa Belanda yang datang ke kepulauan Aru pada tahun 1623, disusul bangsa Inggis pada tahun 1857. Alfred R. Wallace seorang penjelajah dan peneliti yang diketahui berkebangsaan Inggris juga singgah di Dobo, yang pada akhirnya mendapatkan “tanah yang dijanjikan” di kepulauan Aru, dengan tulisan yang berjudul “The Malay Archipelago”, yang diterbitkan Oxford Universitas, tahun 1986[3]
3.      Peradaban Masyarakat Aru

Sumber : https://arinatecnho.wordpress.com/2011/03/15/suku-suku-di-indonesia/
Masyarakat lokal tradisional (masyarakat adat) di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) berperadaban ekosentrisme, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan.
Pada Musim Timur (Mei – Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu, berburu rusa dan babi hutan di savana atau hutan-hutan, serta mengumpulkan beberapa jenis moluska, kepiting dan teripang.
Pada Musim Barat (November – April) mereka lebih terfokus pada sumber daya laut seperti mengumpulkan teripang di pantai berpasir yang sedang pasang, kadang memancing Hiu. Teripang sejenis binatang laut yang kaya protein dan kalori, jelly-nya dapat dijadikan kosmetik, obat penyakit dalam, sehingga banyak saudagar dari dalam dan luar negeri yang datang berkulak teripang untuk mengisi toko-toko obat dan restoran-restoran internasional di Singapura, Malaysia, Taiwan, Cina, Jepang, dan Korea.
Gesekan yang terjadi antara masyarakat Suku Aru dan para saudagar dari luar inilah yang mengakibatkan unsur-unsur budaya modern materialistis masuk pada masyarakat lokal Aru sehingga budaya mereka bergeser ke arah konsumtif.
Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Dalam kegiatan mengumpulkan teripang mereka tidak menggunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal mengenai kehidupan teripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya.
Apabila hasil perolehan teripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan. Teripang hasil pengawetan dapat ditukar dengan kebutuhan rumah tangga yang lain. Dalam hal ini tradisi barter masih melekat dengan keseharian Suku Aru.
Ada upaya untuk membudidayakan teripang dengan cara membangun tambak-tambak. Sayang sekali, peradaban ekosentrisme ini telah bergeser dengan masuknya faktor-faktor dari luar. Terutama sekali dibawa oleh saudagar-saudagar dari Taiwan, Cina, Korea, Jepang, Malaysia, dan Singapura yang prosesnya sudah berjalan ratusan tahun. Masyarakat tradisional Aru diiming- imingi produk-produk teknologi yang harus “dibayar” dengan teripang[4].
4.      Kepercayaan Masyarakat Aru



Sumber : http://www.wacananusantara.org/suku-aru/
Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Aru msih sangat memegang kuat apa yang diajarkan leluhur pada mereka. Terutama hubungan manusia dengan alam, kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut merupakan instrumen tangguh dalam menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Masyarakat Suku Aru percaya bahwa alam dan seluruh isinya adalah mutlak milik para leluhur yang selalu mengawasinya. Dengan pandangan seperti ini, keseimbangan yang secara alami terkandung di alam akan selalu terjaga, karena hal-hal yang merusak seperti eksploitasi yang berlebihan dan yang lainnya dapat terhindar oleh karena adanya kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk alamnya selain untuk kebutuhan dasar hidupnya.
Sebagai  mediator, masyarakat Aru memiliki Kepala Adat untuk melakukan dialog antara leluhur dengan anak-cucunya. Karena itu setiap akan melakukan kegiatan, didahului dengan upacara dialog. Hasil dialog tersebut berupa kesepakatan-kesepakatan yang harus ditaati, misalnya dalam hal berburu teripang,  ada jenis-jenis tertentu yang hanya boleh diambil pada saat-saat tertentu saja, hanya boleh mengambil teripang yang berukuran besar saja; dan ada masa larangan untuk mengambil teripang, dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian untuk memberi kesempatan alam melakukan regenerasi.
Leluhur, sebagai pemilik alam raya akan murka bila kesepakatannya dilanggar, hal tersebut dimanifestasikan dalam bentuk bencana alam. Hal ini mengandung makna bahwa apabila alam terganggu keseimbangannya, maka alam akan mencari titik keseimbangan baru.[5]
5.      Kehidupan Sosial Masyarakat Aru


Sumber :http://www.wacananusantara.org/suku-aru/
Dalam hubungnnya dengan menjaga keharmonisan antara masyarakat dengan lingkungan hidup, dijumpai adanya sistem pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional.
Secara organisasi, ada pembagian tugas di antara masyarakat, laki – laki dewasa melakukan kegiatan yang bersifat di luar rumah dan bersifat keras seperti berburu, menyelam, dan berkebun; wanita dewasa melakukan kegiatan rumah tangga, seperti membuat kanji, memungut teripang di pantai berpasir, dan pengolahan teripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai proses belajar.
6.      Keunikan Suku Aru


Sumber : http://www.wacananusantara.org/suku-aru/
Salah satu hal menarik yang terdapat di Suku Aru adalah teknik pembelajaran atau sistem transfer pengetahuan  yang diwariskan  kepada generasi-generasi mudanya. Para orang tua melakukan pengajaran kepada anak-anaknya dengan mempraktikannya langsung. Anak-anak belajar langsung melalui intuisi yang mereka punya, mereka tidak dijejali berbagai macam teori untuk mengetahui sesuatu, tetapi anak-anak dilibatkan secara langsung. Maka, dari pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan, akan diperoleh pula pengetahuan-pengetahuan yang kelak akan berguna.
Dahulu kala ada tradisi yang unik yang berkaitan dengan penyatuan dengan alam, misalnya: Bayi laki-laki yang baru dilahirkan dilempar ke dalam laut, setleah beberapa menit sang ayah terjun, menyelam mencari anaknya dan dibawanya pulang; Anak laki-laki yang memasuki usia remaja dilepas ke dalam hutan tanpa diberi bekal, apabila ia dapat pulang dengan selamat maka ia disambut dan diakui sebagai laki-laki dewasa[6].






[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aru di akses pada tanggal kamis 9 juni 2016 pukul 21:00
[2] http://suku-dunia.blogspot.co.id/2016/04/mengenal-suku-aru.html di akses pada tanggal kamis 9 juni 2016 pukul 21:30
[3] http://anandaajengps.blogspot.co.id/2015/03/suku-aru.html di akses pada tanggal kamis 9 juni 2016 pukul 21:40
[4] http://anandaajengps.blogspot.co.id/2015/03/suku-aru.html di akses pada tanggal kamis 9 juni 2016 pukul 21:45

[6] http://anandaajengps.blogspot.co.id/2015/03/suku-aru.html di akses pada tanggal kamis 9 juni 2016 pukul 21:45

Profil Suku Bawean

Suku Bawean
1.      Letak Geografis

Secara geografis kepulauan Bawean terletak antara 112 45’ Bujur Timur dan 5 45’Lintang Selatan. Luas wilayah sebesar 196,27 Km. kepulauan Bawean terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Diameter pulau Bawean kira-kira 12 kilometer dan jalan yang melingkari pulau ini kira-kira panjangnya 70km dan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Kecamatan Sangkapura mempunyai luas 118.72 Km, dengan jumlah Desa 17 dan Kecamatan Tambak mempunyai luas 77.55 Km, dengan jumlah Desa 13.[1]
2.      Mitologi Suku Bawean
Pada mulanya pulau ini bernama"pulau mejeti"atau 'pulau majdi"yang berasal dari bahasa arab yang artinya uang logam,disebut demikian karna bentuk pulau ini bulat seperti uang logam.Tapi mengapa akhirnya bernama Bawean?ceritanya demikian"pada masa kerajaan majapahit berada pada saat ke emasannya ia bermaksud untuk menyatukan nusantara maka dikirimlah seluruh armadanya untuk berlayar menuju daerah yang jauh di sana ternyata dari sekian banyak armada yang dikirim ada yang mendapat kemalangan perahu mereka di serang badai di laut Jawa dan akhirnya mereka yang terselamat terdampar di sebuah pulau,dari rasa yang sangat gembira karena terselamat,tanpa sengaja terlontarlah kata dari ketua pasukan "BA-WE-AN” yang berasal dari bahasa sansekerta "BA" artinya sinar "WE" artinya matahari "AN"artinya ada, yang bermaksud ADA SINAR MATAHARI.Kini mereka hidup di pulau yang baru mereka kenal dengan penuh kebahagiaan karna baru saja terselamat dari maut dengan nama itulah mereka menyebut pulau itu BAWEANyang lambat laun panggilan majeti atau majdi tidak terdengar lagi[2]
Menurut sahibul hikayat, arti dari nama Bawean secara harfiah adalah “sinar mata mentari”, sebelumnya Pulau Bawean itu bernama Pulau Majeti, ada pula menyebut Pulau Majedi. kerajaan Majapahit dalam upaya mencari tanah jajahan baru, pada tahun 1350 serombongan kapal dari kerajaan tersebut sudah berbulan-bulan mengarungi samudra. Di suatu pagi yang masih berkabut tebal mereka sampai di laut Jawa. Muncul sinar matahari dari sebuah daratan. Kemudian mereka mendarat di daratan tersebut, di daratan itulah mereka seakan-akan hidup kembali, karna mereka sudah berbula-bulan mengarungi samudra. Selain itu Pulau Bawean dikenal juga dengan nama Pulau Putri yang mengandung makna sendiri. Penamaan Pulau Putri, sesungguhnya tidak semata mata terkait dengan jumlah penduduk Bawean, di mana perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yang mana para lelaki-lelakinya banyak yang merantau keluar negeri. Melainkan nama Pulau Putri memiliki alur  tertentu, identitas maknawi. Tetapi menurut Ahsan warga Bawean dinamakan Pulau Putri karena para lelakinya banyak yang merantau keluar Bawean atau keluar negeri kalau cuma bekerja di Bawean mereka hanya cukup untuk dimakan sehari-hari bahkan tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan tidak bisa memberi kepada orang tuanya, itu alasan mereka banyak yang merantau ke luar.[3]

3.      Perkawinan


 
Sumber : http://bekubawean.blogspot.co.id/2008_06_01_archive.html







Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak.
Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu diBawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohadilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.
tahapan dalam pernikahan suku Bawean ialah sebagai berikut :
1)      Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar
2)      Selanjutnya jika lamaran diterima harus segera melapor ke lurah, karena pernikahan nanti akan melibatkan seluruh warga. Setelah itu ada pemilihan To’ To’a. wanita yang akan menikah harus dipingit.
3)      Hari pertama
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
4)      Harikedua
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
5)      Hariketiga
(REPOTNA)

Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial sipunyahajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
6)      Hari keempat
Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
7)      Hari kelima
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi.
Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
8)      Hari keenam
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
9)      Hari ketujuh
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
10)  Hari kedelapan
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.
[4]

4.      Keunikan Suku Bawean




Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bawean



1)      Budaya merantau
Masyarakat Bawean dikenal sebagai suku yang terkenal dengan budaya merantaunya. Budaya ini telah berlangsung sejak ratusa tahun, karena pada abad 15 dan 1, Bandar Malaka yang sering menjadi tempat rantauannya merupakan pusat perdagangan. Akibat banyaknya para pria yang merantau karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan mapan dan sukses kemudian tinggal di daerah lain, hal ini menyebabkan pada awal abad ke 20, kaum wanita dan orang tua lah yang menjadi penghuni pulau Bawean paling banyak.
2)      Memiliki keunikan bahasa
Bahasa yang digunakan oleh masayarakah Bawean dikenal dengan bahasa kreol, bahasa yang berasal dari beragan suku kemudian bercampur menjadi satu, karena tingkat hubungan sosial yang tinggi mengingat bahwa masayarakat ini merupakan perantau. Bahasa madura dan bahasa jawa lah yang lebih mendekati bahasa yang digunakan suku Bawean.
3)      Tradisi cukur jambul
Tradisi ini nyatanya bisa juga ditemukan di beberapa suku lain di Indonesia, namun tradisi cukul jambul di bawean cukup kental yang dilakukan pada pada bayi yang genap berusia 40 hari. Tradisi ini biasanya diiringi dengan bacaan berzanji bersamaan dengan paluan kompang.
4)      Kesenian Kercengan
Kesenian ini biasanya dipentaskan pada acara pernikahan. Para penari akan berbaris sebaris atau 2 garis, kemudian pemain kompang serta penyanyi duduk di barisan belakang. Musik ynag dimainkan pun bukan lagu atau nyanyian, melainkan shalawat.[5]

5.      Interaksi Suku Bawean dengan Agama-agama Lain


Sumber : http://log.viva.co.id/news/read/753964-lima-fakta-unik-dari-suku-bawean
Pada awalnya orang Bawean menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk pengaruh hindu budha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong Batu. Kini mereka menganut agama islam yang di perkirakan masuk sekitar tahun 1601. Pengalaman agama Islam di pulau Bawean terlihat sangat kuat, dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah untuk anak-anak mempelajari pendidikan agama islam.
Dan sebenarnya ada keterkaitan antara masyarakat Bawean yang gemar merantau itu demi menyempurnakan agama mereka dengan melakukan haji.[6]




[1] Bab 2 Data dan Analisa pdf, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 10.00.
[3] Bab2 Bawean.pdf, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 10.05.
[4] Penganten Adat Bawean, diakses dari http://bekubawean.blogspot.co.id/2008/06/penganten-adat-bawean.html, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 12.00.
[5]  5 Keunikan Suku Bawean Penduduk di Laut Jawa, diakses dari http://budaya.ijomuda.com/5-keunikan-suku-bawean-penduduk-di-laut-jawa/, pada 02 Juni 2016, pukul 11.15.
[6] Ahmad Syahroni, Orang Bawean bermukim di Pulau yang Luas, diakses dari http://syahronne.blogspot.com/2014/04/suku-bawean-orangbawean-bermukim-di.html,  pada 02 Juni 2016, pukul 11.20.

Profil Suku Osing

  Letak Geografis
Sumber : http://bangkitbanyuwangi.com/about-banyuwangi/








































Suku Using terletak di Jawa Timur dan kurang lebih menempati separuh dari wilayah Banyuwangi. Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kabupaten ini terletak di wilayah ujung paling timur pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Situbondo. Sebelah timur berbatasan dengan selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso.
Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan pelabuhan Gilimanuk di Bali. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki budaya asli suku Using yakni Desa Kemiren, kecamatan Glagah, dan kabupaten Banyuwangi. Wilayah desa Kemiren termasuk dari daerah daratan yang banyak sumber-sumber air atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai belik[1]
2.    Mitologi
Dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.[2]
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia    menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu    wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri    pada suaminya.
3.    Perkawinan


Tahap Perkenalan
Tahap perkenalan merupakan tahap penjajakan antara dua kekasih. Pada tahap ini bisa saja terjadi, hubungan antara kedua kekasih terpaksa harus putus karena sesuatu sebab. Akan tetapi ada pula yang berlangsung hingga ke jenjang perkawinan. Apabila tahap ini dapat berlangsung dengan mulus, tanpa ada rintangan, maka di lanjutkan tahap selanjutnya, yaitu tahap meminang.
Tahap Meminang
Menurut adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Banyuwangi, meminang dilakukan pihak laki-laki. Biasanya bila suatu keluarga yang memiliki anak laki-laki telah menyetujui gadis pilihannya, maka dilakukan pinangan dengan menyuruh orang lain untuk meminang calon menantunya. Orang suruhan ini bisa dari keluarga dekatnya sendiri ataupun dari orang lain yang dipercaya. Sebelum dilakukan pinangan biasanya pihak laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu. Saat lamaran pihak laki-laki datang dengan membawa seperangkat pakaian wanita sebagai tanda ikatan antara kedua pasang kekasih. Lamaran atau pinangan ini sebenarnya hanya bersifat formalitas saja. Pada saat pertemuan ini, akah dibicarakan bersama-sama hari jadi atau pelaksanaan upacara perkawinan serta masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Dari hasil pembicaraan antara kedua belah pihak, apabila ternyata pihak perempuan, dari segi ekonomi tidak mampu untuk mengadakan upacara, maka pihak laki-laki akan ” ngleboni ” atau memberi bantuan untuk pelaksanaan perkawinan anaknya. Sebaliknya apabila pihak laki-laki ternyata tidak mampu, maka pihak iaki-laki ” nglundung semprong ” saja.
Tahap Peresmian Perkawinan
Peresmian perkawinan atau upacara perkawinan merupakan klimaks sekaligus inti adat perkawinan. Oleh karena itu, pihak penyelenggara upacara akan mempersiapkan upaaara secara matang dan khusus. Pelaksanaan upacara perkawinan di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi terlihat sebagai paduan antara upacara yang bersifat agamis dengan upacara tradisional. Bagi pemeluk agama Islam, akan silakukan Upacara Ijab Khobul sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagai tanda sahnya perkawinan tersebut, mereka akan memperoleh surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Agama setempat. Selain dari tahap-tahap tersebut di atas, masyarakat Osing Banyuwangi, juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu: Adu Tumper dan Perang Bangkat.
Adat Perkawinan Adu Tumper
Adat perkawinan adu tumper dilakukan sehubungan dengan adanya kepercayaan masyarakat Osing Banyuwangi yang melarang melakukan perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus sebagai anak sulung di lingkungan keluarganya masing-masing. Apabila perkawinan tersebut tetap dilakukan, maka dipercaya dapat berakibat pasangan pengantin baru itu akan banyak mengalami halangan dan rintangan dalam mengarungi hidupnya. Akan tetapi, apabila disebabkan oleh sesuatu hal, kemudian perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus anak suXung tetap harus dilakukan, maka untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, secara adat dilakukan upacara Adu Tumper saat upacara temon berlangsung[3].
4.    Kematian
Dikalangan masyarakat Osing, seperti halnya juga di masyarakat Jawa pada umumnya, peristiwa kematian juga diadakan peringatan atau selamatan yang dilakukan sejak meninggal atau disebut gemblag, kemudian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan sampai 1000 hari atau 3 tahun. Upacara ini dilakukan agar jiwa atau roh orang yang meninggal itu sampai “ditangan” Allah, dan tidak mengganggu orang yang masih hidup. Upacara ini biasanya berupa kenduri dengan membaca Surat Yasindan Takhil.
Tradisi dalam hubungan ketetanggaan di masyarakat Osing dilakukan dengan gotong royong, arisan, kerja bakti dan saling bersilaturahmi. Di dalam kehidupan masyarakat Osing tidak jarang kebutuhan individu mereka kalahan dengan keperluan kelompok sehingga hubungannya masih relatif menonjol dalam kehidupan sehari-hari.[4]


5.    Keunikan Suku Osing
1)     Tradisi Tumpeng Sewu 


 
Sumber : http://www.banyuwangibagus.com/2014/10/tradisi-suku-osing-banyuwangi.html



Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama Islam menyebar dengan cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa tradisi unik Suku Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa Kemiren berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu karena bisa jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini sebagai selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari segala bencana dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan untuk menghormati datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji. Sebagaimana nasi tumpeng pada umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur
2)     Tradisi Mepe Kasur

Sumber : http://www.keluargabiru.com/2015/07/lima-tradisi-unik-suku-osing.html

Tradisi Mepe Kasur ini masih satu rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang hari. Dalam bahasa Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing meyakini salah satu sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu kasur-kasur harus dijemur di halaman rumah agar sumber penyakit itu mati terkena sinar matahari.
Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur ini adalah warna kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang cemeng. Dalam bahasa Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua kasur di Desa Kemiren memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam dengan tepian berwarna merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Uniknya lagi, saat pelaksanaan Tradisi Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari jam tujuh pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng.
Setiap warga Desa Kemiren yang baru menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna cemeng dimaksudkan untuk menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tangganya langgeng hingga maut memisahkan.[5]
6.    Interaksi dengan Agama-agama Lain
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC. dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.[6]
           




[1] Letak Geografis dan Demografi Suku Using, diakses dari http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/lokasi-dan-demografis-suku-osing.html, pada 03 Juni 2016 pukul 16.15.
[2] Legenda Asal-usul Banyuwangi, diakses dari http://kampuswongosing.blogspot.co.id/2013/11/legenda-asal-usul-banyuwangi.html, pada 03 Juni 2016 pukul 16.20.
[3]Pernikahan Suku Osing, diakses dari https://londo43ver.wordpress.com/2008/12/30/perkawinan-suku-osing/, pada 03 Juni 2016 pukul 17.00.
[5] Lima Tradisi Unik Suku Osing, diakses dari http://www.keluargabiru.com/2015/07/lima-tradisi-unik-suku-osing.html, pada 03 Juni 2016 pukul 17.10.
[6] Suku Osing, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Osing#Kepercayaan pada 03 Juni 2016 pukul 17.25.