Suku Bawean
1. Letak Geografis
Secara geografis kepulauan Bawean terletak antara 112 45’ Bujur Timur dan 5 45’Lintang Selatan. Luas wilayah sebesar 196,27 Km. kepulauan Bawean terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Diameter pulau Bawean kira-kira 12 kilometer dan jalan yang melingkari pulau ini kira-kira panjangnya 70km dan bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam. Kecamatan Sangkapura mempunyai luas 118.72 Km, dengan jumlah Desa 17 dan Kecamatan Tambak mempunyai luas 77.55 Km, dengan jumlah Desa 13.[1]
2. Mitologi Suku Bawean
Pada mulanya pulau ini bernama"pulau mejeti"atau 'pulau majdi"yang berasal dari bahasa arab yang artinya uang logam,disebut demikian karna bentuk pulau ini bulat seperti uang logam.Tapi mengapa akhirnya bernama Bawean?ceritanya demikian"pada masa kerajaan majapahit berada pada saat ke emasannya ia bermaksud untuk menyatukan nusantara maka dikirimlah seluruh armadanya untuk berlayar menuju daerah yang jauh di sana ternyata dari sekian banyak armada yang dikirim ada yang mendapat kemalangan perahu mereka di serang badai di laut Jawa dan akhirnya mereka yang terselamat terdampar di sebuah pulau,dari rasa yang sangat gembira karena terselamat,tanpa sengaja terlontarlah kata dari ketua pasukan "BA-WE-AN” yang berasal dari bahasa sansekerta "BA" artinya sinar "WE" artinya matahari "AN"artinya ada, yang bermaksud ADA SINAR MATAHARI.Kini mereka hidup di pulau yang baru mereka kenal dengan penuh kebahagiaan karna baru saja terselamat dari maut dengan nama itulah mereka menyebut pulau itu BAWEANyang lambat laun panggilan majeti atau majdi tidak terdengar lagi[2]
Menurut sahibul hikayat, arti dari nama Bawean secara harfiah adalah “sinar mata mentari”, sebelumnya Pulau Bawean itu bernama Pulau Majeti, ada pula menyebut Pulau Majedi. kerajaan Majapahit dalam upaya mencari tanah jajahan baru, pada tahun 1350 serombongan kapal dari kerajaan tersebut sudah berbulan-bulan mengarungi samudra. Di suatu pagi yang masih berkabut tebal mereka sampai di laut Jawa. Muncul sinar matahari dari sebuah daratan. Kemudian mereka mendarat di daratan tersebut, di daratan itulah mereka seakan-akan hidup kembali, karna mereka sudah berbula-bulan mengarungi samudra. Selain itu Pulau Bawean dikenal juga dengan nama Pulau Putri yang mengandung makna sendiri. Penamaan Pulau Putri, sesungguhnya tidak semata mata terkait dengan jumlah penduduk Bawean, di mana perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, yang mana para lelaki-lelakinya banyak yang merantau keluar negeri. Melainkan nama Pulau Putri memiliki alur tertentu, identitas maknawi. Tetapi menurut Ahsan warga Bawean dinamakan Pulau Putri karena para lelakinya banyak yang merantau keluar Bawean atau keluar negeri kalau cuma bekerja di Bawean mereka hanya cukup untuk dimakan sehari-hari bahkan tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan tidak bisa memberi kepada orang tuanya, itu alasan mereka banyak yang merantau ke luar.[3]
Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak.
Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu diBawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohadilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.tahapan dalam pernikahan suku Bawean ialah sebagai berikut :
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohadilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.tahapan dalam pernikahan suku Bawean ialah sebagai berikut :
1) Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar
2) Selanjutnya jika lamaran diterima harus segera melapor ke lurah, karena pernikahan nanti akan melibatkan seluruh warga. Setelah itu ada pemilihan To’ To’a. wanita yang akan menikah harus dipingit.
3) Hari pertama
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
4) Harikedua
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan disaksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
5) Hariketiga
(REPOTNA)
Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial sipunyahajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
(REPOTNA)
Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial sipunyahajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
6) Hari keempat
Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
7) Hari kelima
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi.
Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi.
Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
8) Hari keenam
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
9) Hari ketujuh
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
10) Hari kedelapan
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.[4]
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.[4]
1) Budaya merantau
Masyarakat Bawean dikenal sebagai suku yang terkenal dengan budaya merantaunya. Budaya ini telah berlangsung sejak ratusa tahun, karena pada abad 15 dan 1, Bandar Malaka yang sering menjadi tempat rantauannya merupakan pusat perdagangan. Akibat banyaknya para pria yang merantau karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan mapan dan sukses kemudian tinggal di daerah lain, hal ini menyebabkan pada awal abad ke 20, kaum wanita dan orang tua lah yang menjadi penghuni pulau Bawean paling banyak.
2) Memiliki keunikan bahasa
Bahasa yang digunakan oleh masayarakah Bawean dikenal dengan bahasa kreol, bahasa yang berasal dari beragan suku kemudian bercampur menjadi satu, karena tingkat hubungan sosial yang tinggi mengingat bahwa masayarakat ini merupakan perantau. Bahasa madura dan bahasa jawa lah yang lebih mendekati bahasa yang digunakan suku Bawean.
3) Tradisi cukur jambul
Tradisi ini nyatanya bisa juga ditemukan di beberapa suku lain di Indonesia, namun tradisi cukul jambul di bawean cukup kental yang dilakukan pada pada bayi yang genap berusia 40 hari. Tradisi ini biasanya diiringi dengan bacaan berzanji bersamaan dengan paluan kompang.
4) Kesenian Kercengan
Kesenian ini biasanya dipentaskan pada acara pernikahan. Para penari akan berbaris sebaris atau 2 garis, kemudian pemain kompang serta penyanyi duduk di barisan belakang. Musik ynag dimainkan pun bukan lagu atau nyanyian, melainkan shalawat.[5]
Sumber : http://log.viva.co.id/news/read/753964-lima-fakta-unik-dari-suku-bawean |
Pada awalnya orang Bawean menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk pengaruh hindu budha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong Batu. Kini mereka menganut agama islam yang di perkirakan masuk sekitar tahun 1601. Pengalaman agama Islam di pulau Bawean terlihat sangat kuat, dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah untuk anak-anak mempelajari pendidikan agama islam.
Dan sebenarnya ada keterkaitan antara masyarakat Bawean yang gemar merantau itu demi menyempurnakan agama mereka dengan melakukan haji.[6]
[1] Bab 2 Data dan Analisa pdf, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 10.00.
[2]Asal-usul Suku Bawean, diakses dari http://acikroncot-putratanjung.blogspot.co.id/2010/11/asal-usul-bawean.html, pada 02 Juni 2016, pukul 11.00
[3] Bab2 Bawean.pdf, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 10.05.
[4] Penganten Adat Bawean, diakses dari http://bekubawean.blogspot.co.id/2008/06/penganten-adat-bawean.html, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 12.00.
[4] Penganten Adat Bawean, diakses dari http://bekubawean.blogspot.co.id/2008/06/penganten-adat-bawean.html, diakses pada 02 Juni 2016, pukul 12.00.
[5] 5 Keunikan Suku Bawean Penduduk di Laut Jawa, diakses dari http://budaya.ijomuda.com/5-keunikan-suku-bawean-penduduk-di-laut-jawa/, pada 02 Juni 2016, pukul 11.15.
[6] Ahmad Syahroni, Orang Bawean bermukim di Pulau yang Luas, diakses dari http://syahronne.blogspot.com/2014/04/suku-bawean-orangbawean-bermukim-di.html, pada 02 Juni 2016, pukul 11.20.
0 komentar:
Posting Komentar