10/06/16

Profil Suku Osing

  Letak Geografis
Sumber : http://bangkitbanyuwangi.com/about-banyuwangi/








































Suku Using terletak di Jawa Timur dan kurang lebih menempati separuh dari wilayah Banyuwangi. Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur di Indonesia. Kabupaten ini terletak di wilayah ujung paling timur pulau Jawa. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Situbondo. Sebelah timur berbatasan dengan selat Bali. Sebelah selatan berbatasan dengan samudra Hindia. Dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Jember dan kabupaten Bondowoso.
Pelabuhan Ketapang menghubungkan pulau Jawa dengan pelabuhan Gilimanuk di Bali. Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi yang masih memiliki budaya asli suku Using yakni Desa Kemiren, kecamatan Glagah, dan kabupaten Banyuwangi. Wilayah desa Kemiren termasuk dari daerah daratan yang banyak sumber-sumber air atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai belik[1]
2.    Mitologi
Dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.[2]
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia    menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu    wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri    pada suaminya.
3.    Perkawinan


Tahap Perkenalan
Tahap perkenalan merupakan tahap penjajakan antara dua kekasih. Pada tahap ini bisa saja terjadi, hubungan antara kedua kekasih terpaksa harus putus karena sesuatu sebab. Akan tetapi ada pula yang berlangsung hingga ke jenjang perkawinan. Apabila tahap ini dapat berlangsung dengan mulus, tanpa ada rintangan, maka di lanjutkan tahap selanjutnya, yaitu tahap meminang.
Tahap Meminang
Menurut adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Banyuwangi, meminang dilakukan pihak laki-laki. Biasanya bila suatu keluarga yang memiliki anak laki-laki telah menyetujui gadis pilihannya, maka dilakukan pinangan dengan menyuruh orang lain untuk meminang calon menantunya. Orang suruhan ini bisa dari keluarga dekatnya sendiri ataupun dari orang lain yang dipercaya. Sebelum dilakukan pinangan biasanya pihak laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu. Saat lamaran pihak laki-laki datang dengan membawa seperangkat pakaian wanita sebagai tanda ikatan antara kedua pasang kekasih. Lamaran atau pinangan ini sebenarnya hanya bersifat formalitas saja. Pada saat pertemuan ini, akah dibicarakan bersama-sama hari jadi atau pelaksanaan upacara perkawinan serta masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Dari hasil pembicaraan antara kedua belah pihak, apabila ternyata pihak perempuan, dari segi ekonomi tidak mampu untuk mengadakan upacara, maka pihak laki-laki akan ” ngleboni ” atau memberi bantuan untuk pelaksanaan perkawinan anaknya. Sebaliknya apabila pihak laki-laki ternyata tidak mampu, maka pihak iaki-laki ” nglundung semprong ” saja.
Tahap Peresmian Perkawinan
Peresmian perkawinan atau upacara perkawinan merupakan klimaks sekaligus inti adat perkawinan. Oleh karena itu, pihak penyelenggara upacara akan mempersiapkan upaaara secara matang dan khusus. Pelaksanaan upacara perkawinan di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi terlihat sebagai paduan antara upacara yang bersifat agamis dengan upacara tradisional. Bagi pemeluk agama Islam, akan silakukan Upacara Ijab Khobul sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagai tanda sahnya perkawinan tersebut, mereka akan memperoleh surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Agama setempat. Selain dari tahap-tahap tersebut di atas, masyarakat Osing Banyuwangi, juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu: Adu Tumper dan Perang Bangkat.
Adat Perkawinan Adu Tumper
Adat perkawinan adu tumper dilakukan sehubungan dengan adanya kepercayaan masyarakat Osing Banyuwangi yang melarang melakukan perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus sebagai anak sulung di lingkungan keluarganya masing-masing. Apabila perkawinan tersebut tetap dilakukan, maka dipercaya dapat berakibat pasangan pengantin baru itu akan banyak mengalami halangan dan rintangan dalam mengarungi hidupnya. Akan tetapi, apabila disebabkan oleh sesuatu hal, kemudian perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus anak suXung tetap harus dilakukan, maka untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, secara adat dilakukan upacara Adu Tumper saat upacara temon berlangsung[3].
4.    Kematian
Dikalangan masyarakat Osing, seperti halnya juga di masyarakat Jawa pada umumnya, peristiwa kematian juga diadakan peringatan atau selamatan yang dilakukan sejak meninggal atau disebut gemblag, kemudian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan sampai 1000 hari atau 3 tahun. Upacara ini dilakukan agar jiwa atau roh orang yang meninggal itu sampai “ditangan” Allah, dan tidak mengganggu orang yang masih hidup. Upacara ini biasanya berupa kenduri dengan membaca Surat Yasindan Takhil.
Tradisi dalam hubungan ketetanggaan di masyarakat Osing dilakukan dengan gotong royong, arisan, kerja bakti dan saling bersilaturahmi. Di dalam kehidupan masyarakat Osing tidak jarang kebutuhan individu mereka kalahan dengan keperluan kelompok sehingga hubungannya masih relatif menonjol dalam kehidupan sehari-hari.[4]


5.    Keunikan Suku Osing
1)     Tradisi Tumpeng Sewu 


 
Sumber : http://www.banyuwangibagus.com/2014/10/tradisi-suku-osing-banyuwangi.html



Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan Agama Islam menyebar dengan cepatnya di kalangan suku Osing. Itulah sebabnya kenapa tradisi unik Suku Osing merupakan akulturasi budaya Majapahit-Hindu-Budha dan Islam.
Dalam bahasa Jawa, Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang berjumlah seribu. Dalam tradisi ini setiap keluarga mengeluarkan minimal satu buah tumpeng, sedangkan kepala keluarga di Desa Kemiren berjumlah sekitar 1.052 orang. Maka tak heran jika disebut Tumpeng Sewu karena bisa jadi keluarga yang berkecukupan akan mengeluarkan lebih dari satu tumpeng.
Tradisi Tumpeng Sewu dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua rezeki yang telah mereka terima selama satu tahun. Selain itu Tumpeng Sewu diyakini sebagai selamatan tolak balak yang akan menghindarkan warga Desa Kemiren dari segala bencana dan penyakit yang mematikan. Tumpeng Sewu juga dilaksanakan untuk menghormati datangnya Bulan Dzulhijjah atau Bulan Haji. Sebagaimana nasi tumpeng pada umumnya, Tumpeng Sewu berbentuk kerucut yang mempunyai filosofi bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Yang khas dari Tumpeng Sewu adalah menu Pecel Pithik yaitu ayam panggang yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu tertentu. Pecel Pithik akronim dari kalimat: “Ngucel-ucel barang sithik” yang artinya mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur
2)     Tradisi Mepe Kasur

Sumber : http://www.keluargabiru.com/2015/07/lima-tradisi-unik-suku-osing.html

Tradisi Mepe Kasur ini masih satu rangkaian dengan Tradisi Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam harinya, maka Mepe Kasur dilakukan dari pagi hingga siang hari. Dalam bahasa Jawa Mepe Kasur artinya menjemur kasur. Masyarakat Osing meyakini salah satu sumber penyakit berasal dari kasur, oleh sebab itu kasur-kasur harus dijemur di halaman rumah agar sumber penyakit itu mati terkena sinar matahari.
Yang unik dari Tradisi Mepe Kasur ini adalah warna kasurnya. Semua kasur milik warga Desa Kemiren berwarna abang cemeng. Dalam bahasa Osing abang artinya merah dan cemeng artinya hitam. Semua kasur di Desa Kemiren memang sengaja dibungkus dengan kain berwarna hitam dengan tepian berwarna merah. Keseragaman ini dimaksudkan sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.
Uniknya lagi, saat pelaksanaan Tradisi Mepe Kasur semua warga menjemur kasurnya secara bersamaan mulai dari jam tujuh pagi hingga matahari tenggelam. Maka jangan heran manakala melihat pemandangan unik di Desa Kemiren menjelang Hari Raya Idul Adha yaitu di kanan dan kiri jalan berderet ratusan kasur dengan warna yang seragam: abang cemeng.
Setiap warga Desa Kemiren yang baru menikah pasti memiliki kasur abang cemeng. Warna cemeng dimaksudkan untuk menolak bala atau sial, sedangkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tangganya langgeng hingga maut memisahkan.[5]
6.    Interaksi dengan Agama-agama Lain
Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Budha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC. dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.[6]
           




[1] Letak Geografis dan Demografi Suku Using, diakses dari http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/lokasi-dan-demografis-suku-osing.html, pada 03 Juni 2016 pukul 16.15.
[2] Legenda Asal-usul Banyuwangi, diakses dari http://kampuswongosing.blogspot.co.id/2013/11/legenda-asal-usul-banyuwangi.html, pada 03 Juni 2016 pukul 16.20.
[3]Pernikahan Suku Osing, diakses dari https://londo43ver.wordpress.com/2008/12/30/perkawinan-suku-osing/, pada 03 Juni 2016 pukul 17.00.
[5] Lima Tradisi Unik Suku Osing, diakses dari http://www.keluargabiru.com/2015/07/lima-tradisi-unik-suku-osing.html, pada 03 Juni 2016 pukul 17.10.
[6] Suku Osing, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Osing#Kepercayaan pada 03 Juni 2016 pukul 17.25.

0 komentar:

Posting Komentar